Syarat-syarat Berkurban
LARANGAN DALAM IBADAH HAJI[1]
Oleh
Syaikh Prof. DR Shalih bin Fauzan Hafizhahullah
Allah Azza wa Jalla berfirman:
الْحَجُّ أَشْهُرٌ مَعْلُومَاتٌ ۚ فَمَنْ فَرَضَ فِيهِنَّ الْحَجَّ فَلَا رَفَثَ وَلَا فُسُوقَ وَلَا جِدَالَ فِي الْحَجِّ ۗ وَمَا تَفْعَلُوا مِنْ خَيْرٍ يَعْلَمْهُ اللَّهُ ۗ وَتَزَوَّدُوا فَإِنَّ خَيْرَ الزَّادِ التَّقْوَىٰ ۚ وَاتَّقُونِ يَا أُولِي الْأَلْبَابِ
(Musim) haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi. Barangsiapa yang menetapkan niatnya dalam bulan itu akan mengerjakan haji, maka tidak boleh rafats, berbuat kefasikan, dan berbantah-bantahan di dalam masa mengerjakan haji. Dan apapun yang kamu kerjakan berupa kebaikan, niscaya Allah mengetahuinya. Berbekallah dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa, maka bertakwalah kepada-Ku, hai orang-orang yang berakal. [al-Baqarah/2:197]
PENJELASAN AYAT
Firman Allah Azza wa Jalla :
الْحَجُّ أَشْهُرٌ مَعْلُومَاتٌ
(Musim) haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi[al-Baqarah/2:197]
Bulan-bulan haji adalah Syawal, Dzulqa’dah dan sepuluh hari dari bulan Dzulhijjah. Jika seorang Muslim telah memasuki kondisi ihrâm ini maka keadaannya berbeda dengan keadaan sebelumnya. Meskipun seharusnya seorang Muslim dalam kondisi istiqâmah, ketakwaan dan lurus, hanya saja setelah berihrâm ia telah pindah ke kondisi yang lebih baik. Ia tidak boleh melakukan sesuatu berkait dengan kemewahan hidup yang sebelumnya diperbolehkan di luar kondisi ihrâm. Maka sudah sepatutnya seorang berihrâm itu menjauhi larangan-larangan yang bersifat umum maupun bersifat khusus di masa ihrâmnya.
Oleh karena itu, Allah Azza wa Jalla berfirman :
فَمَنْ فَرَضَ فِيهِنَّ الْحَجَّ فَلَا رَفَثَ وَلَا فُسُوقَ وَلَا جِدَالَ فِي
Barangsiapa yang menetapkan niatnya dalam bulan itu akan mengerjakan haji, maka tidak boleh rafats, berbuat kefasikan, dan berbantah-bantahan di dalam masa mengerjakan haji [al-Baqarah/2:197]
Kata فَرَضَ (faradha/menetapkan niat) bermakna أَحْرَمَ (ahrama/memasuki kondisi ihrâm untuk haji atau umrah). Allah Azza wa Jalla menggunakan kata faradha untuk mengingatkan bahwa seorang Muhrim (orang yang ihrâm) wajib menjalankan nusuk (ibadah hajinya) sampai selesai dan tidak boleh membatalkannya. Meskipun nusuk (jenis ibadah) tersebut tidak wajib hukumnya sebelum seseorang memasuki kondisi ihrâm. Selanjutnya, Allah Azza wa Jalla melarang setiap perkara, baik perkataan maupun perbuatan, yang berlawanan dengan kondisi ihrâm itu sendiri. Allah Azza wa Jalla berfirman.
فَلَا رَفَثَ وَلَا فُسُوقَ وَلَا جِدَالَ فِي الْحَجِّ
maka tidak boleh rafats, berbuat kefasikan, dan berbantah-bantahan di dalam masa mengerjakan haji [al-Baqarah/2:197]
Larangan ini berbentuk kalimat nafi agar lebih tegas sehingga orang akan ekstra untuk menjauhinya.
Ar-rafats ) الرّفَثُ ) adalah bersetubuh dan hal-hal yang yang mengawalinya, seperti pandangan, sentuhan, atau memperbincangkan persoalan tentang itu. Pinangan dan akad nikah pun dilarang. Imam Ibnu Katsîr t mengatakan: barang siapa ihrâm dengan haji atau umrah hendaknya menjauhi rafats yang artinya adalah jimâ’, sebagaimana firman Allah Azza wa Jalla :
أُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيَامِ الرَّفَثُ إِلَىٰ نِسَائِكُمْ
Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan istri-istri kamu [al-Baqarah/2:187]
Begitu pula dilarang melakukan perbuatan-perbuatan yang menjadi pembukanya seperti bersentuhan kulit, ciuman dan lainnya. Termasuk juga memperbincangkan masalah tersebut di hadapan kaum wanita”.
Sementara itu, hakekat al-fusûq (الْفُسُوْقُ ) adalah perbuatan maksiat secara keseluruhan. Seorang Muslim tidak boleh berbuat maksiat di setiap waktu. Dan seorang Muhrim (yang sedang dalam ihrâm) dilarang melakukannya secara khusus. Sebab maksiat itu akan berdampak buruk terhadap ibadah hajinya. Dan lagi, dosa dalam kondisi ihrâm lebih besar. Hal ini lantaran seorang Muhrim semestinya menyibukkan diri dengan amalan ketaatan, bukan sebaliknya. Alasan lain, seorang Muhrim benar-benar diharapkan bertaubat. Apabila tetap melakukan maksiat, berarti ia masih suka dengan maksiat yang tentunya ini bertentangan dengan ketetapan niatnya untuk berihrâm. Sebagian Ulama menafsirkan al-fusûq dengan pengertian berbuat sesuatu yang diharamkan dalam kondisi ihrâm. Juga terdapat penafsiran lain yang menyatakan bahwa maksudnya adalah berbuat maksiat di tanah Haram, mencela orang lain atau berkurban untuk berhala. Semua penafsiran ini tidak saling bertolak-belakang. Kata al-fusûq mencakup semua itu. .
Imam asy-Syaukâni rahimahullah mengatakan: “Orang yang berilmu tidak akan keliru bahwa penentuan nama fusûq dengan contoh-contoh tertentu tidak menyebabkan contoh tersebut menjadi pengertian kata al-fusûq secara khusus”.
Di antara bentuk kefasikan terbesar adalah menjadikan musim haji dan wilayah-wilayah masyâ’ir (yang dipakai untuk ibadah haji) sebagai tempat demonstrasi, meneriakkan slogan-slogan rasialis, menghidupkan kembali fanatisme jahiliyah kuno maupun mempropagandakan individu, madzhab tertentu dan mengusung foto-foto tokoh dan pemimpin negara. Sebagaimana masyarakat jahiliyah zaman dahulu memanfaatkan musim haji untuk mengelu-elukan keluhuran dan kemuliaan nenek moyang mereka, kemenangan mereka dalan peperangan dan keberhasilan membalas kekalahan.
Yang dimaksud dengan al-jidâl (الْجِدَالُ) ialah al-mumârâtu (perdebatan kusir), al-munâza’ah (pertengkaran), dan al-mukhâshamah (pertikaian). Jidâl dilarang karena akan memantik timbulnya keburukan-keburukan dan menjerumuskan kepada permusuhan. Padahal tujuan ibadah haji adalah terciptanya sikap merendahkan diri kepada Allah Azza wa Jalla dan mendekatkan diri kepada-Nya dengan seluruh bentuk ibadah yang memungkinkan dan menjauhi segala perbuatan jelek. Dengan itu, ia menjadi seorang yang hajinya mabrûr dan balasan bagi haji mabrûr adalah jannah.
Pada dasarnya perbuatan-perbuatan tersebut terlarang di setiap waktu dan tempat, dan akan menjadi kuat larangannya di masa haji.
Bila perdebatan yang dilakukan dalam rangka menjelaskan kebenaran (al-haq) atau menyanggah kebatilan, bentuk perdebatan ini bukan termasuk yang terlarang, baik dalam masa haji dan lainnya. Allah Azza wa Jalla berfirman:
وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ
Dan bantahlah mereka dengan cara yang lebih baik [an-Nahl/16:125]
Setelah melarang perkara-perkara di atas (rafats, maksiat dan perdebatan), Allah Azza wa Jalla memerintahkan jamaah haji untuk menyibukkan diri dengan amal ketaatan. Allah Azza wa Jalla berfirman:
وَمَا تَفْعَلُوا مِنْ خَيْرٍ يَعْلَمْهُ اللَّهُ
Dan apapun yang kamu kerjakan berupa kebaikan, niscaya Allah mengetahuinya [al-Baqarah/2:197]
Allah Azza wa Jalla menghimbau mereka untuk berkata-kata yang baik sebagai ganti perkataan yang buruk, dan memerintahkan berbuat baik serta ketakwaan dalam akhlak sebagai ganti perbuatan maksiat dan jidâl. Sebab, menjalankan perintah tidak akan sempurna kecuali dengan meninggalkan larangan-larangan.
PERBEKALAN HAJI
Pelaksanaan ibadah haji mengharuskan orang melakukan perjalanan jauh dan berpindah-pindah tempat. Kondisi ini menuntut mereka untuk membekali diri dengan uang. karena itu Allah Azza wa Jalla memerintahkan untuk mempersiapkan diri dengan membawa perbekalan dan uang yang nantinya dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhannya sehingga tidak perlu mengharapkan belas kasih dan bantuan orang lain. Allah Azza wa Jalla berfirman yang artinya: “ Dan berbekallahkalian .” [al-Baqarah/2:197]
Dahulu, ada sejumlah orang mengerjakan haji tanpa membawa perbekalan sama sekali. Mereka berkilah bahwa sudah bertawakal kepada Allah Azza wa Jalla . Akibatnya, mereka kemudian terpaksa mengemis dan meminta-minta kepada orang lain.
Setelah memerintahkan mempersiapkan perbekalan duniawi dalam perjalanan di dunia, Allah Azza wa Jalla mengingatkan agar mereka juga mempersiapkan perbekalan ukhrawi untuk perjalanan menuju akherat. Allah Azza wa Jalla berfirman:
وَتَزَوَّدُوا فَإِنَّ خَيْرَ الزَّادِ التَّقْوَىٰ
Berbekallah dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa [al-Baqarah/2:197]
Barang siapa mengesampingkan perbekalan ini, ia akan terhalangi mencapai surga. Di akhir ayat, Allah Azza wa Jalla menutupnya dengan firman-Nya:
وَاتَّقُونِ يَا أُولِي الْأَلْبَابِ
Bertakwalah kepada-Ku wahai orang-orang yang berakal [al-Baqarah/2:197]
Ini merupakan seruan umum kepada orang-orang berakal agar bertakwa kepada Allah Azza wa Jalla di musim haji saat mengerjakan ibadah haji dan waktu-waktu lainnya. Wallâhu a’lam
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 08/Tahun XIII/Dzulqa’dah 1430/2009M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]
_______
Footnote
[1]. Diadaptasi dari kitab Muhâdharah fil ‘Aqîdah wad Da’wah, Syaikh DR. Shaleh al-Fauzân (1/213-216), Dârul Ashimah, Riyâdh Cet. I Th. 1422H. diterjemahkan oleh Ashim bin Musthofa
Artikel asli: https://almanhaj.or.id/3367-larangan-dalam-ibadah-haji.html